Selasa, 02 September 2008

KADER : TULANG PUNGGUNG REVOLUSI

Artikel ini dimuat dalam Jurnal bulanan Cuba Socialista (edisi September 1962)

Teks terjemahan diambil dari situs indo-marxist.net

Tak perlu lagi untuk meragukan watak khas revolusi kita,tentang hal-ikhwalnya, dengan semangat spontanitasnya, yakni transisi yang berlangsung dari revolusi pembebasan nasional menuju revolusi sosialisme.

Dan tak perlu pula meragukan peningkatan pesat dari tahap-tahap perkembangannya, yang dipimpin oleh orang-orang yang sama yang ikut serta dalam peristiwa heroik penyerangan garnisun Moncada, berlanjut melalui pendaratan Granma, dan memuncak pada deklarasi watak sosialis dari revolusi Kuba. Para simpatisan baru, kader-kader, dan organisasi-organisasi membentuk sebuah strukfur organisasional yang pada awal gerakan masih lemah, sampai kemudian berubah menjadi luapan rakyat yang akhirnya mencirikan revolusi kita.


Ketika kemudian menjadi nyata bahwa suatu kelas sosial baru secara tegas mengambil alih kepemimpinan di Kuba, kita juga menyaksikan keterbatasan yang besar dalam menggunakan kekuasaan negara karena adanya kondisi-kondisi yang kita temukan di dalam tubuh negara. Tidak ada kader untuk melaksanakan sejumlah besar pekerjaan yang harus diisi dalam aparat negara, dalam organisasi-oganisasi politik, dan seluruh front ekonomi.

Segera setelah kekuasaan berhasil direbut, pos-pos birokratik hanya diisi dengan cara 'asal tunjuk' saja. Tidak menimbulkan masalah yang besar--tidak satupun karena struktur lama belum dihancurkan. Aparat berfungsi lamban dan tertatih tatih seperti sesuatu yang tua dan hampir mati. Tapi ia memiliki organisasi dan di dalam organisasi yang- memadai untuk mempertahankan dirinya melalui kelembaman, melecehkan perubahan-perubahan politik sebagai awal bagi perubahan struktur ekonomi.

Gerakan 26 Juli yang masih disibukkan oleh pertarungan internal sayap kanan dan sayap kiri, tidak bisa mencurahkan dirinya untuk tugas-tugas pembangunan. Dan Partai Sosialis popular yang karena terlampau lama mengalami serangan-serangan keji dan bergerak di bawah tanah selama bertahun-tahun, tidak mampu mengembangkan kader-kader menengah untuk menangani tanggung jawab baru.

Ketika campur tangan negara yang pertama kali dalam ekonomi berlangsung (1), tugas-tugas menemukan kader tidaklah terlalu rumit, dan memungkinkan untuk memilih diantara rakyat yang telah memiliki basis minimum untuk menjalankan posisi-posisi kepemimpinan. Tetapi dengan percepatan proses yang dimulai dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika dan kemudian disusul dengan perusahan-perusahaan besar Kuba, kebutuhan nyata untuk teknisi-keknisi administrasi mulai muncul. Di sisi lain, kebutuhan akan teknisi-teknisi produksi dirasakan semakin mendesak. krena larinya banyak teknisi yang tertarik oleh posisi-posisi yang lebih baik yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaaan imperialis di AS atau di negeri Amerika Latin lainnya. Sementara sibuk dengan tugas-tugas organisasional ini, aparat-aparat politik harus melakukan upaya yang gigih untuk memperhatikan masalah ideologi kepada massa yang bergabung dalam revolusi dan berhasrat besar untuk belajar.

Kita semua telah berusaha menjalankan peran sebaik mungkin, tapi bukannya tanpa ada masalah dan kekecewaan. Banyak kekeliruan yang dilakukan dalam bidang administratif di tingkat eksekutif pusat. Banyak kesalahan telah dibuat oleh para administratur baru di perusahaan-perusahaan yang sarat dengan tanggung jawab besar. Kita juga mengakui adanya-kekeliruan besar dan mahal yang dilakukan oleh aparat-aparat politk, yang sedikit demi sedikit merosot menjadi birokrasi yang melenakan.dan menghanyutkan, yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk pos-pos birokratik yang penting atau kurang penting yang pada akhirnya memisahkan mereka dari massa.

Penyebab utama dari kekeliruan-kekeliruan kita adalah kurang memahami kenyataan yang ada. Selain itu, kita kekurangan perangkat, yang menumpulkan pandangan kita dan membelokkanpartai menjadi sebuah organisasi birokratik, yang membahayakan administrasi dan produksi, kita kekurangan kader-kader maju pada tingkat menengah. Ini merupakan bukti bahwa pengembangan kader sama artinya dengan kebijakan turun ke massa. Semboyannya adalah sekali lagi untuk menegakkan kontak dengan massa, kontak yang dipelihara terus oleh revolusi pada masa-masa awalnya.tapi ini harus ditegakkan melalui mekanisme yang mampu memberikan hasil-hasil yang paling menguntungkan baik bagi kepentingan sentimen massa maupun dalam penyampaian kepemimpinanpolitik, yang di banyak kasus hanya diberikan melalui campur tangan PM Fidel Castro atau beberapa pimpinan revolusi lainnya.

Pada titik ini kita dapat mengajukan pertanyaan : apakah itu kader ? kita harusmenyatakan bahwa seorang kader adalah seorang individu yang telah mencapai perkembangan politik yang cukup mampu menafsirkan petunjuk-petunjuk yang lebih besar berasal dari kekuasaan pusat menjadikanya sebagai miliknyadan memegangnya sebagai suatu orientasi ke massa ; seseorang yang pada saat yang sama harus juga mampu menafsirkan isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh massa mengenai keinginan-keinginan dan motivasi mereka yang paling dalam.

Seorang kader adalah seorang yang memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktekkan sentralisme-demokrasi dan yang mengetahui bagaimana mempraktekkan azas diskusi kolektif dan pengambilan keputusan serta tanggung jawabnya masing-masing. Ia adalah seorang individu yang telah terbukti kesetiaannya, yang keberanian lahiriah dan moralnya telah berkembang seiring dengan perkembangan ideologisnya, yang dengan demikian ia selalu berkeinginan untuk menghadapi setiap perdebatan dan bahkan menyerahkan seluruh hidupnya untuk kejayaan revolusi. Sebagai tambahan, ia juga seorang individu yang dapat berfikir berdikari, yang mampu membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dan melakukap prakarsa kreatif yang tidak bertentangan dengan disiplin.

Karenanya, kader adalah seorang pencipta, seorang pemimpin yang berpendirian kukuh, seorang teknisi dengan tingkat politik yang baik, yang memegang prinsip dialektika untuk memajukan sektor produksinya, atau mengembangkan massa dari posisi kepemimpinan politiknya.

Manusia teladan ini, yang dari luar nampak seolah-olah tingkat kebajikannya itu sulit dicapai, ternyata hadir diantara rakyat Kuba, dan kita menemuinya tiap hari. Hal yang pokok sebetulnya adalah mengambil manfaat dari setiap peluang yang ada guna mengembangkan mereka semaksimal mungkin, untuk mendidiknya, untuk menarik manfaat yang paling besar dari setiap kader dan mengalihkannya menjadi nilai tertinggi bagi kepentingan bangsa.

Pengembangan saorang kader dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas setiap hari. Selain itu, tugas-tugas itu harus dijalankan secara sistematik, di dalam sekolah-sekolah khusus, diajar oleh pengajar yang kompeten--yang memberikan teladan bagi murid-muridnya--akan mendorong kemajuan ideologis yang paling pesat .

Dalam sebuah sistem yang sedang mulai membangun sosialisme, jelas kader harus maju secara politik. Selain itu, bila kita mempertimbangkan perkembangan politiknya, kita tidak hanya memperhitungkan teori Marxist. Kita harus juga menuntut tanggungjawab dari individu terhadap tindakan-tindakannya, sebuah disiplin yang mengendalikan setiap kelemahan dan yang tidak menghambat lahirnya prakarsa Dan kita harus mgnuntut kekhusukkannya yang terus-menerus terhadap semua masalah-masalah revolusi. Untuk dapat mengembangkan seorang kader, kita harus memulai dengan menegakkan prinsip seleksi diantara massa. Di sana lah kita menemukan individu-individu yang berkembang, yang diuji oleh pengorbanan atau yang baru mulai menunjukkan kepeduliannya dan menugaskan mereka ke tempat-tempat belajar khusus ; atau bila belum ada sekolah-sekolah sedemikian, berikan mereka tanggung jawab yang lebih sehingga mereka teruji dalam kerja praktek.

Dengan cara ini kita telah menemukan sejumlah besar kader-kader baru di tahun-tahun belakangan ini. Tapi perkembanqan mereka tidaklah sama, ketika kawan-kawan muda itu harus menghadapi kenyataan dimana kemunculan pera revolusioner itu tanpa kepemimpinan partai yang memadai. Beberapa diantaranya memang benar-benar berhasil, tetapi lainnya tidak dapat menyelesaikannya dan terputus di tengah jalan Atau lenyap begitu saja ditelan labirin birokrasi, atau terperosok ke dalam godaan-godaan kekuasaan.

Untuk menjamin kemenangan dan konsolidasi menyeluruh dari revolusi, kita harus mengembangkan berbagai jenis kader yagn berbeda. Kita membutuhkan kader politik yang akan menjadi fondasi bagi organisasi-organisasi massa, dan yang akan memimpin massa melalui aksi Partai Persatuan Revolusi Sosialis (2). (Kita telah mulai meletakkan fondasi ini bersama Sekolah Pengajaran Revolusioner, tingkat nasional dan propinsi dan bersama kelompo-kelompok pengkajian dan studi di semua tingkatan). Kita juga membutuhkan kader-kader militer. Untuk mencapai itu kita dapat memanfaatkan proses seleksi selama perang yang dibuat diantara pejuang-pejuang muda kita. Karena, banyak diantara mereka yang masih hidup tapi tanpa pengetahuan teoritik yang cukup, tapi mereka teruji di bawah siraman peluru. Mereka teruji di dalam keadaan perjuangan yang paling su1it, dengan kesetiaan yang telah terbukti kepada rejim revolusioner seJak kelahiran dan perkembangannya, mereka berkait erat semenjak perang gerilya pertama di Sierra Maestra itu. Kita juga mengembangkam kader-kader ekonomi, yang akan mengabdikan dirinya khusus untuk menghadapi perencanaan yang sulit dan tutas-tugas negara sosialis pada masa pembentukannya.

Adalah perlu untuk bekerja dengan kaum profesional, dengan mendesak kaum muda untuk mengikuti salah satu karir teknik yang lebih penting dalam upaya memberikan i1mu pengetahuan, sebuah energi antusiasme ideologis yang menjamin kelajuan pembangunan. Adalah keharusan untuk menciptakan suatu tim administratif yang mengetahui bagaimana menqambi1 manfaat dan_ menyesuaikan pengetahuan teknis khusus lainnya, serta membimbing perusahaan-perusahaan organisasi negara lainya, untuk membawa membawanya sejalan dengan irama revolusi.

Ukuran umum bagi semua kader ini adalah kejernihan politik. Tapi ini bukan berarti dukungan membabi buta terhadap dalil-dalil revolusi, melainkan suatu dukungan yang beralasan. Hal itu memerlukan kapasitas yang besar untuk berkorban dan satu kapasitas analisis dialekttis yang memungkinkannya untuk memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada semua tingkatan, hingga memperkaya teori dan praktek revolusi. Kawan-kawan ini harus diseleksi hanya dengan penerapan prinsip bahwa yang terbaiklah yang akan maju ke depan dan yang terbaiklah harus diberikan kesempatan terbesar untuk berkembang.

Dalam semua situasi ini, fungsi kader adalah sama pada masing-masing front yang berbeda. Kader adalah komponen penting dari motor ideologis dari Partai Persatuan Revolusi. Hal ini adalah sesuatu yang dapat kita sebut sebagai gigi penggerak dari motor itu. Menjadi penggerak lantaran ia merupakan bagian dari motor yang menjamin agar motor tersebut bekerja dengan benar. Menjadi penggerak karena ia tidak hanya sekedar penyampai slogan atau menuntut kenaikan atau penurunan, tetapi seorang pencipta yang akan membantu dalam pengembangan massa dan penyampai informasi pada para pemimpin serta menjembatani kontak diantara mereka. Kader memiliki misi penting yang melihatnya bahwa semangat besar revolusi tidak terkikis, dan semnagat besar revolusi tidak terbuang per*****a dan tidak terlelap atau berkurang ritmenya. Ini merupakan posisi yang rawan. Ia menyampaikan apa yang datang dari massa dan menanamkan orientasi partai pada massa.

Oleh karena itu pengembangan kader sekarang adalah sebuah tugas yang tak dapat ditunda lagi. Pengembangan massa telah dilaksanakan oleh pemerintah dengan tekad yang besar dan dengan program-program bea-siswanya, dengan prinsip seleksi dengan program studi untuk para pekerja yang menawarkan berbegai kesempatan bagi pengembangan berbagai teknologi; dengan pengembangan sekolah-sekolah teknik yang khusus; dengan pengembangan sekolah-sekolah dan universitat-universitas yang membuka karir-karir baru. Pendeknya, hal ini dilakukan dengan pengembangan studi, kerja, dan kewaspadaan revolusioner sebagi semboyan bagi seluruh negeri kita, yang secara fundamental berbasis pada persatuan Komunis Muda, darimana semua jenis kader harus muncul di masa depan. Bahkan kader-kader pimpinan revolusi.

Hal yang berkaitan erat dengan konsep "kader" adalah konsep kapasitas untuk berkorban, untuk memperlihatkannya melalui contoh-contoh pribadi dari kebenaran dan semboyan revolusi. Sebagai pimpinan politik, para kader harus memperoleh penghargaan dari para pekerja oleh tindakan-tindakan mereka. Adalah suatu keharusan, bahwa mereka memperoleh penghargaan dan kecintaan dari kawan-kawan mereka yang mereka harus bimbing dalam jalan kepeloporan.

Karena semua inilah, tidak ada kader yang lebih baik daripada mereka yang dipi1ih oleh massa di dalam pertemuan-pertemuan yang memilih para pekerja teladan, yang akan bergabung di dalam PURS bersama anggota-anggota lima ORI yang lulus dalam semua ujian seleksi. Pada awalnya, mereka hanya merupakan sebuah partai kecil tapi dengan pengaruh yang besar diantara para pekerja. Kemudian akan tumbuh di saat kemajuan kesadaran sosialis mulai menunjukkkan hasilnya dan ketaatan total terhadap perjuangan rakyat menjadi suatu hal yang diperlukan. Dengen pimpinan-pimpinan perantara dengan kualitas ini, tugas-tugas sulit yang berada di hadapan kita akan diselesaikan dengan kesalahan yang lebih sedikit. Setelah melalui suatu periode yang membingunghan dan metode yang buruk, akhirnya kita tiba pada satu kebijaksanaan yang tepat yang tidak akan pernah ditinggalkan. Dengan impuls kelas pekerja yang selalu diperbarui yang disirami dari pancuran air yang tiada habis-habisnya, para anggota PURS masa depan, dan kepemimpinan partai kita, sepenuhnya kita laksanakan tugas pembentukan kader-kader yang akan menjamin perkembangan yang kukuh dari revolusi kita. Kita harus berhasil dalam tugas ini.


September 1962


Keterangan:

1.Pada November 1959, pemerintahan revolusioner menyetujui suatu undang -undang yang memberikan wewenang pada menteri. perburuhan untuk campur tangan dalam suatu peruahaan, memegang kendali menejemennya tanpa merubah pemilikannya, Para pemilik perusahaan yang diinterrvensi tetap berhak untuk memperoleh laba. bagaimanapun, pada prakteknya sebagian pemilik dari perusahaan-perusahaan ini hengkang dari Kuba. Prosedur ini digunakan terus oleh pemerintah revolusioner sampai akhir 1960, di saat semua cabang-cabang ekonomi pokok dinasionalisasi.

2.Pada saat artikel ini ditulis PURS berada dalam proses pembrntukannya, Pada bulan Maret 1962, pendahulu-pendahulunya ORI, The Integrated Revolution --yang dibentuk melalui penggabungan Gerakan 26 Juli, Partai Sossalis Popular dan Directorate Revolsioner--telah menjalani suatu - proses reorganisasi menuju konsolidasi partai baru di paruh akhir 1963, pusat tari reorganiiasi ini adalah pertemuan-pertemuan yang diadakan pada ribuan tempat-tempat kerja di seluruh Kuba. Masing-masing pertemuan mendiskusikan dan memiiih dari tempat kerja itu seorang pekerja teladan. Mereka yang terpilih pade gilirannya dipertimbangkan untuk keanggotaan partai.

Karya-karya Che Guevara | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.

________________
Voicepapua.com



Bekas Tentara OPM Dibantu Perahu dan Alat Pancing

BIAK, SELASA - Kapolda Papua, Irjen Pol FX Bagus Ekodanto menyerahkan bantuan tiga unit perahu ketinting kepada 50 orang mantan anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di Kampung Parusi, Distrik Biak Barat, Kabupaten Biak Numfor.

Kapolda Irjen Pol Ekodanto di Biak, Selasa, mengakui, bantuan yang diberikan kepada eks anggota TPN/OPM merupakan bentuk nyata bantuan polisi dalam membina masyarakat di daerah ini. Tujuan dari pemberian bantuan berupa tiga perahu, bahan pokok beras, peralatan pancing kepada warga Kampung Parusi, Distrik Biak Barat, katanya, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.


"Saya juga berharap dengan bantuan perahu dari Polri akan menjadi modal dalam mendukung pekerjaan warga sebagai nelayan maupun petani," kata Kapolda Ekodanto.

Menyinggung penanganan kelompok separatis yang telah sadar dan kembali ke tengah masyarakat, Kapolda mengatakan, adanya keinginan anggota TPN/OPM untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi NKRI untuk membangun daerahnya patut disyukuri. Sebab, mereka adalah bagian integral dari masyarakat Papua dan bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia.

Salah satu bentuk pembinaan yang diberikan Polri kepada mantan anggota kelompok TPN/OPM di Biak Barat, lanjut Kapolda, adalah memberikan bantuan peralatan nelayan maupun bahan pokok berupa beras mencapai 1,5 ton.

"Bantuan Polri kepada masyarakat di Kampung, Parusi, Distrik Biak Barat bisa dipergunakan serta dijaga baik sehingga kedepan mampu mendatangkan penghasilan bagi keluarga maupun kelompok nelayan bersangkutan,"ungkapnya.

Pada penyerahan bantuan perahu di Distrik Biak Barat, Kapolda Irjen Pol FX Bagus Ekodanto didampingi Komandan Satbrimob Papua, Kombes Pol.Drs Wirawibawa, Kapolres Biak AKBP Kif Aminanto serta Komandan Kodim 1708 BN Letkol Inf Juhari.

ABI
Sumber : Ant

Senin, 01 September 2008

Petisi Papua Desak Pemerintah RI Ratifikasi Statuta Roma Tentang MPI

Hukum dan HAM
Jayapura [papuapos.com] - Apabila pemerintah menunda meratifikasi statuta Roma tentang Mahkamah Pidana International 2008, maka Pemerintah Indonesia telah melanggar komitmen kepada rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua sebagai upaya untuk turut serta memutuskan rantai impunitas.

Petisi dari tanah Papua yang menamakan diri sebagai koalisi masyarakat sipil tanah Papua mendesak Pemerintah RI dan DPR RI untuk segera meratifikasi statuta Roma tentang Mahkamah Pidana International (MPI), karena ratifikasi tersebut dianggap akan menjadi ukuran keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan diri dalam orde keadilan International dan dalam menghentikan impunitas.


Dalam forum dialog yang diselenggarakan oleh Internasional Criminal Court (ICC) bekerjasama dengan kontras Papua yang berlangung selama dua hari di Hotel Muspagco Jayapura. Forum ini membahas tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia khususnya di Papua serta memperingati hari orang hilang (IKOHI) sedunia.

“Ratifikasi statuta merupakan mekanisme system keadilan International menjadi satu kebutuhan untuk menghentikan impunitas bagi berbagai kasus kejahatan Internasional yang serius yang tidak tuntas serta mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari,” kata ketua Kontras Ari Maturubung saat jumpa pers Hotel Muspago, Sabtu (30/8) lalu.

Dikatakannya, berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua hingga saat ini tidak ada penyelesaian hukum contoh, Biak berdarah tahun 1998, kasusu Wasior berdarah tahun 2001, Wamena tahun 2003 dan kasus Opinus Tabuni yang tewas pada perayaan Masyarakat Pribumi se-Dunia tanggal 09 Agustus 2008 di Wamena yang mana kasus-kasus ini prosesnya tarik ulur di Kejaksaan Agung RI. “Dimana hukum kita selama ini? Kenapa kasus-kasus yang terjadi seakan telah di tutup bukukan,” kata Ari.

Sementara itu, UU nomor 21 tahun 2001 Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua dinilai tidak membawa perubahan bagi penghormatan, kemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di tanah Papua. Pasal 45 UU Otsus tentang perwakilan KOMNAS HAM, pengadilan HAM dan Komisi kebenaran dan rekonsiliasi hingga saat ini tidak diimplementasikan dengan serius.“Kami menuntut ratifikasi Roma sebagai titik awal dan proses penegakan HAM di tanah Papua dengan menjunjung tinggi keadilan dan menolak impunitas,” kata dia.(lina)****

___________________________________
Sumber : www.papuapos.com
Dater : Senin, 01 September 2008
Sumber Foto : www.indonesianembassy.it

Timika, [kabarpapua.com] - PT. Freeport Indonesia (PT.FI) dan Brimob Amole V lagi-lagi melakukan Provokasih terhadap masyarakat tradisional yang mengais emas kemarin (28/8. 20:50 wib) di mile 71-73, Timika. Akibatnya, banyak warga pendulang telah melarikan diri ke hutan.

Kali ini, mereka (PT. FI dan TNI) berhasil memakai warga sipil Nus Tabuni, Luky Tabuni dan Lesman Kogoya. Mereka bertiga, menurut sumber informasih langsung dari lapangan, sengaja dibuat dalam keadalan mabuk oleh pasukan Brimob Amole V gabungan Papua, kemudian melakukan onar di tempat pendulangan dan Pasukan Brimob Amole V melakukan penembakan.


Belum ada korban warga sipil, namun menurut Alwambo Kelabo, salah satu anggota TPN/OPM wilayah itu kepada redaksi berita online ini, hingga hari ini (29/8) sebagian besar warga telah melarikan diri ke hutan saat mendengar bunyi tembakan aparat Brimob.

Sementara itu, kejadian ini, menurutnya sebagai suatu bentuk operasi terhadap pasukan TPN/OPM di Wilayah itu. "Ini sengaja dilakukan untuk membubarkan pasukan kompi yang selama ini berada disitu", jelasnya.

Sementara itu, Pihak PT FI dilaporkan telah mengambil kebijaksanaan untuk mengusir pendulang tradisional yang mengais-ngais ampas (kotoran) eksplorasi tambang emas PT. FI yang selama ini berada dan memborbardir kekayaan alam mereka.***

Sumber : www.kabarpapua.com
Sumber Foto :kriopanting.blogspot.com


F-27 Siap Mendarat di Papua

Kapanlagi.com - Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, menambah panjang dan lebar landas pacu Bandar Udara (Bandara) Oksibil sehingga bisa didarati
pesawat jenis Fokker-27 (F-27) mulai awal tahun 2009.

"Pemkab Pegunungan Bintang tahun 2009 juga membangun bandara di Aboy, Distrik Aboy agar bisa didarati pesawat berbadan lebar," kata Bupati setempat, Welington L.Wenda di Jayapura, Senin.

Wenda yang didampingi Wakil Bupati, Theo Sitokdana mengatakan, perluasan landas pacu bandara di Oksibil ini dilakukan sejak tahun 2007 oleh kontraktor lokal.Bila pekerjaan itu selesai, panjang landasan akan mencapai 1.200 meter dan lebar 60 meter sehingga bisa didarati pesawat F-27 Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan pesawat Hercules TNI.


"Bila perpanjangan dan pelebaran ini rampung dan landasannya diaspal, maka pesawat F-27 MNA atau pesawat Hercules TNI bisa leluasa mengangkut kendaraan, material bahan bangunan dan bahan pokok untuk warga Pegunungan Bintang," ujarnya.

Bandara Oksibil sebelumnya adalah milik pelayanan misionaris Gereja Katolik yang mengoperasikan pesawat jenis Cessna untuk menjangkau lapangan terbang berumput yang tersebar di beberapa desa daerah itu.Namun setelah Pegunungan Bintang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya pada 12 April 2003 dan menjadi kabupaten definitif tahun 2005, maka lapangan tersebut dikelola pemerintah.

Sejak tahun anggaran 2007, pemerintah mengalokasikan anggaran perpanjangan landas pacu sepanjang 900 meter dan lebar 30 meter sehingga beberapa perusahaan penerbangan kini terbang ke Oksobil secara reguler dari Jayapura seperti Trigana Air Servive, Pelita Air, Suzue Air dan Pilatus Porter milik AMA Gereja Katolik.

Pemkab juga mengalokasikan dana puluhan miliar untuk mencarter helikopter mengangkut peralatan berat seperti buldozer dan excavator untuk mengerjakan jalan di dalam kota yang menghubungkan ibukota distrik di daerah itu.

Wenda menambahkan, tahun 2009 dialokasikan dana untuk pembangunan Bandara Internasional di Aboy yang terletak di perbatasan Papua dengan Papua Nugini (PNG). (*/bee)
__________________________
Sumber : www.kapanlagi.com
Edisi : 1 September 2008
Sumber Foto ; www.rsugengutomo.blogspot.com

Minggu, 31 Agustus 2008

Korban Penembakan Dirujuk Ke Wamena

Kejahatan TNI/Polri
WAMENA [papuapos.com] – Korban penembakan oknum polisi Polres persiapan Yahukimo, Soni Keykera dirujuk ke Rumah Sakit Daerah (RSUD) Wamena menjalani operasi untuk mengeluarkan proyektil yang bersarang dikaki korban.

Tindakkan ini terpaksa dilakukan mengingat tim medis yang ada di Yahukimo tidak dapat mengeluarkan proyektil yang bersarang di kaki korban, walau telah dilakukan upaya sebelumnya.


Dari hasil pantauan Papua Pos di RSUD Wamena, beberapa perawat yang namanya tidak mau disebutkan menyebutkan, saat ini pihaknya baru melakukan foto rongen terhadap korban untuk mencari proyektil yang ada ditubuh korban.

Dimana hasil foto rongen sebelumnya yang dilakukan dikaki korban, tidak ditemukan proyektil yang dimaksud. Untuk itu pihaknya kembali melakukan foto rongen untuk memastikan posisi proyektil untuk dikeluarkan melalui operasi.Sementara kondisi korban saat ini dalam kondisi stabil, dan siap melakukan operasi untuk mengeluarkan royektil.

Seperti diketahui, korban Soni Keykera terpaksa dilumpuhkan dengan timah panas oleh anggota Polres persiapan Yahukimo setelah sebelumnya berusaha menyerang anggota dengan panah yang diambil dari rumahnya.

Kejadian ini bermula ketika pihak Polres Yahukimo melakukan sweping kendaraaan yang ada di Yahukimo dan menegur korban yang saat itu tidak mengunakan helm sebagai syarat kelengakapan mengendaraia kendaraan roda dua.Korban yang tidak terima ditegur aparat keamanan, lalu kembali kerumah mengambil anak dan menyerang anggota.

Karena merasa ternacnam jiwanya lalu petugas melumpuhkan korban dengan tembakan setelah sebelumnya diberi tembakan peringatan untuk korban melepaskan anak panah yang dibawanya yang dipakai untuk menyerang anggota.(Rico)****

______________________________
Sumber: www.papuapos.com
Dater : Jumat, 29 Agustus 2008
Sumber Foto :www.melanesianews.org

Petisi Papua Desak Pemerintah RI Ratifikasi Statuta Roma Tentang MPI

Jayapura [papuapos.com] - Apabila pemerintah menunda meratifikasi statuta Roma tentang Mahkamah Pidana International 2008, maka Pemerintah Indonesia telah melanggar komitmen kepada rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua sebagai upaya untuk turut serta memutuskan rantai impunitas.

Petisi dari tanah Papua yang menamakan diri sebagai koalisi masyarakat sipil tanah Papua mendesak Pemerintah RI dan DPR RI untuk segera meratifikasi statuta Roma tentang Mahkamah Pidana International (MPI), karena ratifikasi tersebut dianggap akan menjadi ukuran keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan diri dalam orde keadilan International dan dalam menghentikan impunitas.


Dalam forum dialog yang diselenggarakan oleh Internasional Criminal Court (ICC) bekerjasama dengan kontras Papua yang berlangung selama dua hari di Hotel Muspagco Jayapura. Forum ini membahas tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia khususnya di Papua serta memperingati hari orang hilang (IKOHI) sedunia.

“Ratifikasi statuta merupakan mekanisme system keadilan International menjadi satu kebutuhan untuk menghentikan impunitas bagi berbagai kasus kejahatan Internasional yang serius yang tidak tuntas serta mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari,” kata ketua Kontras Ari Maturubung saat jumpa pers Hotel Muspago, Sabtu (30/8) lalu.

Dikatakannya, berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua hingga saat ini tidak ada penyelesaian hukum contoh, Biak berdarah tahun 1998, kasusu Wasior berdarah tahun 2001, Wamena tahun 2003 dan kasus Opinus Tabuni yang tewas pada perayaan Masyarakat Pribumi se-Dunia tanggal 09 Agustus 2008 di Wamena yang mana kasus-kasus ini prosesnya tarik ulur di Kejaksaan Agung RI. “Dimana hukum kita selama ini? Kenapa kasus-kasus yang terjadi seakan telah di tutup bukukan,” kata Ari.

Sementara itu, UU nomor 21 tahun 2001 Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua dinilai tidak membawa perubahan bagi penghormatan, kemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di tanah Papua. Pasal 45 UU Otsus tentang perwakilan KOMNAS HAM, pengadilan HAM dan Komisi kebenaran dan rekonsiliasi hingga saat ini tidak diimplementasikan dengan serius.“Kami menuntut ratifikasi Roma sebagai titik awal dan proses penegakan HAM di tanah Papua dengan menjunjung tinggi keadilan dan menolak impunitas,” kata dia.(lina)****

___________________________________
Sumber : www.papuapos.com
Dater : Senin, 01 September 2008
Sumber Foto : www.muridanpapua.blogspot.com

Jumat, 29 Agustus 2008

Bintang Kejora di Wamena: Nasionalisme Minus Substansi

Seperti siklus yang melingkar, lagi-lagi selembar bendera Bintang Kejora menelan korban di Papua. Di Wamena seorang peserta demo tewas terbunuh sesaat setelah Bintang Kejora berkibar pada peringatan Hari Pribumi Internasional pada 9/8/2008.


Sebelumnya sudah banyak aktivis Papua yang divonis dengan hukuman berat. Jumlahnya pasti akan bertambah karena pemerintah sudah memasang jerat dengan PP 77/2007 yang melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan separatisme.

Untuk tahun 2008 saja setidaknya ada sekitar 10 kasus pengibaran Bintang Kejora di berbagai kabupaten seperti Manokwari, Timika, Jayapura, Wamena dan bahkan Fakfak. Lebih dari 50 orang sudah pernah ditahan. Lebih dari 10 orang kemudian diadili. Bahkan pada awal tahun ini dua orang ibu Papua sempat ditangkap hanya karena menyulam gambar Bintang Kejora di tas yang dijualnya di pinggir jalan.


Korban Bintang Kejora yang menjadi terkenal akhir-akhir ini adalah Filep Karma yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jayapura 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara pada 2004. Kasusnya menjadi amunisi untuk terus mempersoalkan Papua di fora internasional. Hasilnya, minggu lalu 40 anggota Konggres AS ramai-ramai menekan Presiden RI untuk membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage.

Tekanan Konggres AS ini merupakan penanda kegagalan diplomasi publik dan kegagalan pemerintah Indonesia, seperti janji Presiden SBY, menyelesaikan masalah Papua secara adil dan bermartabat.

Vonis makar, represi yang keras, dan berbagai ancaman sanksi lainnya tidak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan Bintang Kejora. Kelompok aktivis yang serius, individu yang iseng hingga oknum aparat yang bermain-main bisa saja mengibarkan bendera itu atau menyuruh orang lain melakukannya dimana saja dan kapan saja.

Sudah pasti pula bahwa sumber daya polisi akan terhambur untuk terus mengurus kasus-kasus ini. Pengadilan juga akan terus menerus menjatuhkan hukuman berat pada pelakunya. Hasilnya, akar masalah Papua yang nyata dan mendesak terabaikan dan negara ini disandera oleh paham nasionalisme yang simbolistis dan cenderung destruktif pada dirinya sendiri.

Sesungguhnya, ada soal serius dengan rasionalitas politik para nasionalis Indonesia. Selembar bendera dianggap begitu menakutkan. Untuk menghadapi itu ratusan pasukan polisi atau TNI dikerahkan. Seakan-akan republik ini akan runtuh segera kalau bendera itu dibiarkan berkibar. Seakan-akan ratusan orang boleh ditangkap, dihilangkan atau dibunuh demi simbol-simbol NKRI itu.

Mereka percaya bahwa masalah Papua seakan-akan selesai jika Bintang Kejora tidak lagi berkibar. Para nasionalis banal itu tidak menyadari bahwa justru yang bisa mendorong disintegrasi republik ini adalah perspektif nasionalis simbolistis yang terus menghasilkan ketidakadilan di masa lalu dan masa kini.

Jika pemerintah ingin konflik Papua bisa diselesaikan, Bintang Kejora itu seharusnya dipahami sebagai simbol yang mewakili tuntutan orang Papua atas setidaknya empat soal ketidakadilan: 1) marjinalisasi orang asli Papua, 2) kegagalan pembangunan di Papua, 3) pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan 4) kontradiksi status politik dan sejarah yang tidak pernah didialogkan.

Para nasionalis Indonesia seharusnya mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Keindonesiaan tidak bisa dijaga hanya bermain dengan simbol bendera, lagu kebangsaan, atau upacara 17 Agustus. Tuntutan orang Papua harusnya dijawab dengan mengubah cara pemerintah dalam menangani masalah Papua dari perspektif keamanan ke perspektif keadilan. Dari perspektif nasionalis yang simbolistis dan militeristis menjadi perspektif yang substansial dan konkrit.

Nilai keindonesiaan di Papua hanya bisa dibangun dengan kebijakan konkrit yang langsung menyentuh akar persoalan di Papua. Keindonesiaan seharusnya dibangun kembali dengan memberdayakan orang asli Papua sebagai subyek utama perubahan dan menghargai identitas dan kebudayaannya, menata pembangunan warga negara di sana dengan paradigma baru, menyelesaikan hutang pelanggaran HAM oleh aparat negara di masa lalu, serta membuka ruang dialog yang substansial dengan para pemimpin Papua.

Dengan berfokus pada penyelesaian empat isu utama di atas, saya percaya wajah keindonesiaan di Papua masih bisa diubah secara bertahap. Rasa percaya dan optimisme rakyat Papua untuk menegosiasi masa lalu, memperbaiki masa kini, dan menyelamatkan masa depan bisa ditumbuhkan kembali.

(Foto: Bintang Kejora di Wamena 9 Agustus 2008, oleh Theo Hesegem) (Artikel ini dimuat di Harian Kompas, 22 Agustus 2008)

www.muridan-papua.blogspot.com

Indonesia Manipulasi Hasil Pepera 1969

Den Haag, Sejarawan Belanda Profesor Pieter Drooglever menyatakan hasil penentuan pendapat rakyat atau Pepera, yang digelar badan PBB UNTEA di Irian Barat tahun 1969, telah dimanipulasi oleh penguasa Indonesia ketika itu.

Bukunya yang berjudul Een Daad van Vrije Keuze atau Pepera, diluncurkan Selasa (15/11) di Den Haag.

Pada tahun 2000 Menlu Belanda Jozias van Aartsen menyetujui gagasan sekelompok anggota Parlemen Belanda agar sejarah Papua ditulis kembali, yang membuat pemerintah di Jakarta jengkel.


Meskipun Jakarta gembira karena Amerika Serikat sudah mencabut rencana menyelidiki soal Papua dari rancangan undang-undangnya, tapi hasil studi Belanda itu bisa menjadi kerikil baru di sepatu Indonesia.

Manipulasi terhadap hasil Pepera bisa berimplikasi bahwa integritas NKRI kurang sah, tetapi kepada Radio Nederland Drooglever menegaskan, karyanya bukan dokumen politik, melainkan hasil penelitian arsip.

Sentimen jati diri

Inti buku Drooglever ini tampaknya menunjuk kepada Pepera. Judul bukunya Een Daad van Vrije Keuze atau Pepera. Isinya memuat secara detil padat, mengenai proses peralihan pemerintahan sampai PBB menggelar Pepera, tahun 1969.

Drooglever juga menemui sejumlah mantan pejabat Belanda di Papua dan sejumlah orang Papua yang pernah ikut Pepera itu.

Adakah hal-hal baru yang ditemukannya?

Drooglever: "Ya buku saya tebal sampai 700 halaman. Saya banyak menggunakan material arsip, yang sebelumnya hampir tak dikenal. Misalnya, tahun 1940-1950an Papua ternyata tidak merupakan dunia yang tengah mengembangkan jati dirinya, dan memperlihatkan elemen-elemen iritasi ke arah Indonesia. Terutama iritasi via orang orang Maluku yang menjadi pejabat di sana, yang merasa lebih superior terhadap Papua dan terang-terangan memperlihatkan sikap itu. Jadi, ada sentimen jati-diri yang berkembang."

Peran Sudjarwo Tjondronegoro

Drooglever juga sempat berbicara dengan bekas pejabat Belanda dan sejumlah orang Papua yang ikut Pepera. Adakah cerita tentangt arsitek di balik Pepera yang dibengkokkan itu? Subandriokah, atau Ali Moertopo?

Drooglever: "Yaah,… tapi yang utama adalah pasangan Soekarno dan Soebandrio yang sejak tahun 1957 menentukan nasib Papua. Ali Murtopo hanya insidentil, lebih bersifat tehnis pelaksanaan Pepera, kan dia bertugas menggelar Pepera dengan gayanya sendiri, gaya militer. Yang saya pikir menarik adalah peran Sudjarwo Tjondronegoro yang menjadi penghubung antara RI dan UNTEA dan memimpin Komisi Pepera. Peran Sudjarwo tergambar dengan jelas dalam buku ini, dia seorang yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera untuk kepentingan RI."

Sempat ragu-ragu

Drooglever menyadari penugasan dirinya untuk menulis sejarah Papua ini merupakan hal yang peka, tapi dia menegaskan ini suatu proyek ilmiah, bebas dari tugas dan pengaruh politik BZ, kementerian luar negeri Belanda. Namun dia sempat ragu-ragu.

Drooglever: "Ya, saya sempat ragu-ragu, haruskah saya laksanakan penulisan ini? Saya juga tahu bagaimana masalah Papua ini di mata pemerintahan yang lalu, pemerintah Megawati. Bagaimana pemerintah tsb berpikir tentang Papua dan cepat merasa iritasi. Tetapi, soal hubungan sentrum dan regio banyak dibahas di kalangan sejarawan. Jadi saya pikir, kalau saya dapat peluang untuk menulis buku tentang hubungan sentrum-regio, dalam hal ini Papua, maka ini merupakan suatu kesempatan bagus, baik bagi ilmu pengetahuan maupun bagi mereka yang mendiskusikan struktur Indonesia. Dan itu memang saya kerjakan dengan senang."

Lembaga Sejarah Belanda

Memang menyebut ada semacam iritasi di pihak RI, ada kekhawatiran Belanda mengusik soal integritas negara kesatuan, Drooglever menyadari sepenuhnya adanya kepekaan tentang isu Papua ini. Tapi bagaimana ceritanya sampai Parlemen Belanda mengusulkan penulisan buku ini kepada Menlu Belanda, dan diterima tanpa melalui pemungutan suara?

Drooglever: "Memang tidak, beberapa anggota parlemen mengajukan usul tentang perlunya menulis kembali sejarah Papua, dan menlunya, van Aartsen, menganggap itu ide yang bagus. Buku-buku yang ada semuanya sudah tua, jadi biarkan ada penulisan yang bagus. Maksud Menlu van Aartsen adalah, biarkan Institut voor Nederlandse Geschiedenis, Lembaga Sejarah Belanda dan Drooglever menuliskannya dengan baik sebagai suatu studi akademik yang pada akhirnya merupakan pertanggungjawaban dia sendiri. Jadi bukan tanggungjawab saya, kata Menlu itu, dan pemerintah samasekali lepas dari semua itu.

Drooglever tidak menganggap penting apakah usul parlemen Belanda itu dilakukan melalui pemungutan suara atau tidak.

Drooglever: "Itu tidak soal bagi saya, yang penting saya dapat penugasan itu atau tidak. Saya bukan menulis suatu dokumen politik. Jadi tidak penting seberapa kuat dukungan dari dalam parlemen Belanda itu bagi saya."

Tentang peralihan kepada Menlu baru Menlu Bernhard Bot, menurut Drooglever pada esensinya, tidak ada perubahan.

Keraguan masyarakat internasional
Drooglever menyebut bahwa Sekjen PBB waktu itu U Thant, dalam laporan-akhirnya kepada Majelis Umum, tidak punya pilihan lain, kecuali menyimpulkan bahwa Pepera yang digelar tahun 1969 itu, adalah SUATU, suatu penentuan pendapat rakyat. Apa maksud Anda?

Drooglever: "Ya, begini. Sebab dalam Perjanjian New York 15 Agustus tahun 1962, mula-mula diputuskan suatu plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yang akan menentukan nasib Papua. Masalahnya, kalangan pejabat PBB, khususnya Ortis San, selaku pejabat PBB yang mengawasi Pepera di sana, waktu itu sudah merasa sangat ragu-ragu tentang seberapa jauh sebenarnya the act of free choice atau Pepera itu benar benar dilaksanakan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas-azas yang dapat diterima dunia internasional, mengenai suatu plebisit. Nah, Ortis San dalam laporannya tidak mengatakan THE act of free choice, seperti yang dirumuskan dalam Perjanjian New York, melainkan AN act of free choice, yang terjadi di sana. Jadi, dia bersikap agak menjarak terhadap apa yang terjadi di Papua, dan sikap ini juga diambil oleh Sekjen PBB U Thant. Jadi, sebenarnya ada suatu keraguan yang serius dari pihak masyarakat internasional."

(sumber: Radio Nederland)